BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al- Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir
di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang
pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang
menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin),
samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini
didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan
perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai
serangan.[1]
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan
syari’ah dalam satu sistem.[2] Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang
sufi Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di negara Thus, kemudian ia pindah ke
Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur
yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di
Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan
ilmu kalam.
Dari Naisabur, pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar
untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani
Saljuk.[3]
Kemudian memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah
An-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang pada
akhirnya ia menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di
Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada
saat ini ia mengalami fase skeptisisme. yang membuat keadaannya terbalik. Ia
kemudian meninggalkan Baghdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan
yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak
menghabiskan waktunya untuk berkhalwah, beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia
kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia
kemudian kembali ke Naisabur atas desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk
untuk kembali mengajar. Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam bidang studi
lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia
juga menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang
agama.[4]
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naisaburi\,
Pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali kekampung halamannya,
banyak bertafakkur, menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya
dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya untuk para
penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada tahun 505 H/18
desember 1111 M, Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya,
Thus dalam usia 54 tahun.[5]
B. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu
sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai
ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang
dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia
kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada
Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana
proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[6] Maka sistem pendidikan itu haruslah
mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan
keagamaan dan akhlak dengan titik penekanan pada perolehan keutamaan dan
takarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, bukan hanya untuk mencapai kedudukan
yang tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi.[7] Rumusan tujuan pendidikan Al-Ghazali
didasarkan pada firman Allah SWT. ”Tidaklah aku jadikan jin dan manusia
melainkan agar beribadah kepadaku” (QS. Al-Dzariyat:56).
Dalam
mengajarkan ilmu pengetahuan hendaknya memberikan penekaan pada upaya
pembimbing dan membiasakan agar ilmu yang diajarkan tidak hanya difahami,
dikuasai atau dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi lebih
dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan islam itu secara umum mempunyai corak spesifik yaitu adanya cap
agama dan etika yang terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi
tanpa mengabaikan masalah keduniawian. Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan
dengan trend-trend keagamaan semacam ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan
ruang yang cukup dalam sistem pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan
catatan bahwa masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk
menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal.[8]
Dari hasil studi pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa
tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah: pertama,
tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Karena itu, ia bercita- cita mengajarkan
manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran pendidikan yang merupakan
tujuan akhir dan maksud dari tujuan itu.[9] Sasaran
pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat.
Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan hanya dengan menguasai sifat
keutamaan jalur ilmu dan menguasai ilmu adalah bagian dari tujuan pendidikan.[10]
Mengingat pendidikan
itu penting bagi manusia, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan
pendidikan, yaitu :
a)
Mendekatkan diri kepada Allah,
yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan
sunah.
b) Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c) Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan
sebaik-baiknya.
d) Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi
dan sifat-sifat tercela.
e) Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang
manusiawi.
Dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa
pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam
prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran
manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal
pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang
menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut
sebagai subyek pendidikan.[11]
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju
manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia
dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya.
2.
Kurikulum Pendidikan
Menurut
Suwito, Kurikulum dalam
pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik
untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan
lingkungannya. Kurikulum pendidikan yang disusun al-Gahzali sesuai dengan pandangannya
mengenai tujuan pendidikan, yakni mendekatkan diri kepada Allah, menurut
al-Ghazali pendidikan merupakan jalan satu-satunya untuk menyempurnakan
manusia. Dengan kata lain, kesempurnaan
manusia sangat ditentukan oleh pengetahuan yang diperolehnya.
Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai
ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut pandang.[12] yaitu :
a)
Ilmu-ilmu tercela.
Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada
manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi
orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar
sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu
nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan
perhitungan (hisab), dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly.Tapi beliau masih memberi toleransi
dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk
mengetahui letak kiblat.
b)
Ilmu-ilmu terpuji.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya
dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua
bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala
jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang
dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus
dilakukan. Sedangkan
yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk
kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain.
Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah
seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat
mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
c) Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit,
dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya
dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan
keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap
orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu
dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai
anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang
bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dalam menyusun kurikulum
pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika
sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat.
Kurikilum menurut Al-Ghazali
didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a) Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali
menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat
untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
b)
Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya.
Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan
manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Ia menjelaskan
bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai.
Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam
bentuk amaliah.[13]
Manusia adalah subyek pendidikan,
sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu
harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulum pendidikan menurut
al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya
secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini,
dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa
memerlukan bukti atau dalil.[14]
3.
Aspek Pendidikan Akhlak
a.
Akhlak menurut Al
ghazali
Akhlak adalah ibarat (sifat atau keadaan ) dari perilaku yang konstan
(tetap) dan meresap dalam jiwa dari padanya tumbuh perbuatan- perbuatan dengan
wajar dan mudah tampa memerlukan pikiran dan pertimbangan. Sedang akhlak
menurut Dr. ahmad Amin ialah ilmu untuk menetapkan ukuran segala perbuatan
manusia. Yang baik atau yang buruk, yang benar atau yang salah, yang hak atau
yang batil. Dan ulama’-ulama’ ahli ada yang mendefinisikan akhlaq sebagai
berikut, akhlaq adalah gambaran jiwa yang tersembunyi yang timbul pada manusia
ketika menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak dibuat- buat atau dipaksa-
paksakan.
Dari keterangan
diatas dapat kita ketahui bahwa akhlaq adalah sumber dari segala perbuatan yang
sewajarnya,tidak dibuat- buat dan perbuatan yang dapat kita lihat sebenarnya
adalah merupakan gambaran dari sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa. Menurut
pengertian diatas maka hakikat akhlak harus mencakup dua syarat:
1) Perbuatan itu harus konstan, yaitu harus dilakukan
berulang kali kontinu dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi kebiasaan.
2) Perbuatan konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai
wujud reflektif dari jiwanya tampa pertimbangan dan pemikiran.
b.
Pendidikan akhlak
bagi anak
Sebelum anak dapat berfikir logis
dan memahami hal-hal yang abstrak serta belum sanggup menentukan mana yang baik
dan yang buruk, dan mana yang salah dan benar maka latihan-latihan dan
pembiasaan, dan penanaman dasar-dasar pendidikan akhlaq yang baik (yang sesuai
dengan akal pikiran dan syariat Islam) secara beransur-ansur hingga berkembang
menuju kesempurnaan berperan sangat penting.diantara beberapa akhlaq yang baik
adalah;
1) Kesopanan dan kesederhanaan
a) Kesopanan dan kesederhanaan makan
b) Kesopanan da kesederhanaan pakaian
c) Kesederhanaan tidur
2)
Kesopanan dan
kedisiplinan
a)
Kesopanan dan
kedisiplinan duduk
b)
Kesopanan dan
kedisiplinan berludah
c)
Kesopanan dan
kedisiplinan berbicara
3)
Pembiasaan dan
latihan bagi anak untuk menjahui perbuatan yang tercela.
a) Suka bersumpah
b) Suka meminta
c) Suka membangakan diri
d) Berbuat dengan cara sembunyi-sembunyi
e) Menjahui segala sesuatu yang tercela
f) Latihan beribadah dan mempejari syariat islam
Bagi anak yang sudah tamyis dan berumur 10 tahun maka
anak itu jangan sekali-kali diberi kesempatan untuk meninggalkan bersuci secara
agama, salat, puasa dan sebagainya.dan juga al-ghazali menyarankan agar anak
anak mepelajari ilmu agama seperti al-qur’an hadist, hikayah dan lain
sebagainya.
c.
Aspek Pendidikan
Akliyah
Al-ghazali menjelaskan Akal adalah sebagai sumber ilmu
pengetahuan tempat terbit dan sendi-sendinya. Dalam ilmu pengetahuan itu
berlaku dari akl sebagaimana berlaku buah dari pohon, sinar dari matahari
penglihatan dari mata. Akal dan kemauanlah yang memberkan karakteristik kepada
manusia dengan akal pikiran dapat memberikan kepada manusia ilmu pengetahuan
yang dipakainya sebagai pedoman dalam usaha dan aktifitas hidunya, sedang
kemauan menjadi pendorong perbuatan manusia .dengan demikian antar pendorong
perbuatan dan pedoman perbuatan (usaha dan aktivitas hidup) terdapat hubungan
yang saling mempengaruhi interaksi yang erat sekali. Oleh karena itu pendidikan
akliyah sangat erat sekali untuk mengembangkan hazanah ilmu pengetahuan,
mencerdaskan pikiran, mengembangkan intelegensi manusia, secara optimal, cakap,
mempergunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya dan memberikan pedoman pada
segala macam perbuatan manusia.
d.
Aspek Pendidikan
Sosial
Al-Ghazali memberiakan petunjuk kepada orang tua dan para
guru agar anak dalam pergaulan memiliki sikap dan sifat yang mulia dan etika
pergulan yang baik sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Sifat-sifat itu adalah
1) Menghormati dan patuh kepada kedua orang tua dan orang
dewasa lainnya
2) Merendahkan hati dan lemah lembut
3) Membentuk sikap dermawan
4) Membatasi pergaulan anak (kepada anak yang tidak
sopan,sombong, dan boros.
e.
Aspek Pendidikan
Jasmaniyah
Adapun pendidikan jasmaniyah bagi anak
dan orang dewasa yaitu :
1) Pendidikan kesehatan dan kebersihan
2) Membiasakan makan makanan yang baik dan tidak
berlebihan
C. Karya-Karya Al-Ghazali
Imam
al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir besar yang sangat produktif dalam
menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum
disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Hingga ada yang
mengatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan, ini memang sulit dipercaya, tapi
siapapun yang mengenal dirinya dan keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya,
kemungkinan ia akan percaya.
Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali meliputi
berbagai macam bidang keilmuan, seperti al-Qur’an, akidah, ilmu kalam, ushul
fiqh, fiqh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan dan lain sebagainya. Abdurrahman
Badawi dalam bukunya Mualafat Al-Ghazali (Kairo, 1961), membagi kitab
yang berkaitan dengan al-Ghazali kedalam tiga kelompok. Pertama, kelompok
kitab yang dapat dipastikan merupakan karangan al-Ghazali sendiri sebanyak 72
kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya sebanyak 22
kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dipastikan bukan karyanya terdiri
atas 31 kitab.[16]
Dari sekian banyak kitab yang menjadi karya Imam
al-Ghazali, beberapa diantaranya yang banyak dibaca dan dijadikan rujukan,
bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing adalah:
a.
Ihya’ ‘Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama)
b.
Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan para filosof)
c.
Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari kesesatan)
d.
Ayyuha al-Walad (Wahai anak)
e.
Bidayah al-Hidayah
f.
Fayshal al-Tafriqah bayna Al-Islam al-Zandaqah
g.
Al-Wajiz
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir
di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam”
(hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun
mughriq), dan pembaharu agama. Dan meninggal pada tahun 505 H/18 desember 1111 M.
Imam
al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir besar yang sangat produktif dalam
menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum
disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Hingga ada yang
mengatakan bahwa ia memiliki 999 buah .
Menurut al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, begitupun pemanfaatannya mestilah bertujuan
untuk ta’abbud kepada Allah SWT. Beliau membagi ilmu pengetahuan menjadi
tiga kategori, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji dan ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau
sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1991.
Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.
Sudarsono.
Filsafat Islam. Jakarta : Rineka Cipta, cet II 2004.
Ibnu Rusn, Abidin. Pemikiran
al-Ghazali Tentang Pendidikan Yogyakarta :Pustaka Pelajar,cet I, 1998.
Hasan
Sulaiman, Fathiyah. Aliran-Aliran
Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali. Semarang
: Dina
Utama, cet I, 1993.
Jalaluddin
& Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep
dan Perkembangan Pemikiran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Ihsan, Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, CV Pustaka
Setia, 1998.
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989.
[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan Dalam Islam(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1991) hlm. 103.
[5] Sudarsono, Filsafat Islam,(Jakarta : Rineka Cipta, cet II.2004) 64.
[6]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali
Tentang Pendidikan( Yogyakarta :Pustaka Pelajar,cet I.1998) 56.
[7]Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi
Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali (Semarang
: Dina
Utama, cet I, 1993)19.
[9]Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep
dan Perkembangan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994) 102.
[12] Abudin Nata, Pemikiran para tokoh pendidikan Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada.2003), 89-91
[14]Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran
Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali (Semarang
: Dina
Utama, cet I, 1993) 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar