Selamat datang di blog aku

Kamis, 12 Juli 2012

filsafat al ghazali




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Al- Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[1]
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem.[2] Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Dari Naisabur, pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani Saljuk.[3]
Kemudian memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme. yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Baghdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkhalwah, beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naisabur atas desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar. Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia juga menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama.[4]
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naisaburi\, Pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali kekampung halamannya, banyak bertafakkur, menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada tahun 505 H/18 desember 1111 M, Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia 54 tahun.[5]
B.     Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[6] Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.


                              1.            Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak dengan titik penekanan pada perolehan keutamaan dan takarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, bukan hanya untuk mencapai kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi.[7] Rumusan tujuan pendidikan Al-Ghazali didasarkan pada firman Allah SWT. ”Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadaku” (QS. Al-Dzariyat:56).
Dalam mengajarkan ilmu pengetahuan hendaknya memberikan penekaan pada upaya pembimbing dan membiasakan agar ilmu yang diajarkan tidak hanya difahami, dikuasai atau dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan islam itu secara umum mempunyai corak spesifik yaitu adanya cap agama dan etika yang terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi tanpa mengabaikan masalah keduniawian. Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan dengan trend-trend keagamaan semacam ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan ruang yang cukup dalam sistem pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan catatan bahwa masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal.[8]
Dari hasil studi pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah: pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena itu, ia bercita- cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran pendidikan yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari tujuan itu.[9] Sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan hanya dengan menguasai sifat keutamaan jalur ilmu dan menguasai ilmu adalah bagian dari tujuan pendidikan.[10]
Mengingat pendidikan itu penting bagi manusia, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a)      Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b)      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c)      Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d)     Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e)      Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[11]
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya.
                              2.            Kurikulum Pendidikan
            Menurut Suwito, Kurikulum dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum pendidikan yang disusun al-Gahzali sesuai dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan, yakni mendekatkan diri kepada Allah, menurut al-Ghazali pendidikan merupakan jalan satu-satunya untuk menyempurnakan manusia. Dengan kata lain, kesempurnaan manusia sangat ditentukan oleh pengetahuan yang diperolehnya. Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut pandang.[12] yaitu :
a)      Ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly.Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui letak kiblat.
b)      Ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
c)      Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kurikilum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a)      Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
b)      Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah.[13]
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.[14]
                              3.            Aspek Pendidikan Akhlak
a.      Akhlak menurut Al ghazali
Akhlak adalah ibarat (sifat atau keadaan ) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa dari padanya tumbuh perbuatan- perbuatan dengan wajar dan mudah tampa memerlukan pikiran dan pertimbangan. Sedang akhlak menurut Dr. ahmad Amin ialah ilmu untuk menetapkan ukuran segala perbuatan manusia. Yang baik atau yang buruk, yang benar atau yang salah, yang hak atau yang batil. Dan ulama’-ulama’ ahli ada yang mendefinisikan akhlaq sebagai berikut, akhlaq adalah gambaran jiwa yang tersembunyi yang timbul pada manusia ketika menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak dibuat- buat atau dipaksa- paksakan. 
Dari keterangan diatas dapat kita ketahui bahwa akhlaq adalah sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya,tidak dibuat- buat dan perbuatan yang dapat kita lihat sebenarnya adalah merupakan gambaran dari sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa. Menurut pengertian diatas maka hakikat akhlak harus mencakup dua syarat:
1)      Perbuatan itu harus konstan, yaitu harus dilakukan berulang kali kontinu dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi kebiasaan.
2)      Perbuatan konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud reflektif dari jiwanya tampa pertimbangan dan pemikiran.
b.      Pendidikan akhlak bagi anak
Sebelum anak dapat berfikir logis dan memahami hal-hal yang abstrak serta belum sanggup menentukan mana yang baik dan yang buruk, dan mana yang salah dan benar maka latihan-latihan dan pembiasaan, dan penanaman dasar-dasar pendidikan akhlaq yang baik (yang sesuai dengan akal pikiran dan syariat Islam) secara beransur-ansur hingga berkembang menuju kesempurnaan berperan sangat penting.diantara beberapa akhlaq yang baik adalah;
1)      Kesopanan dan kesederhanaan
a)      Kesopanan dan kesederhanaan makan 
b)      Kesopanan da kesederhanaan pakaian
c)      Kesederhanaan tidur
2)      Kesopanan dan kedisiplinan 
a)      Kesopanan dan kedisiplinan duduk
b)      Kesopanan dan kedisiplinan berludah
c)      Kesopanan dan kedisiplinan berbicara
3)      Pembiasaan dan latihan bagi anak untuk menjahui perbuatan yang tercela.
a)      Suka bersumpah
b)      Suka meminta 
c)      Suka membangakan diri
d)     Berbuat dengan cara sembunyi-sembunyi
e)      Menjahui segala sesuatu yang tercela
f)       Latihan beribadah dan mempejari syariat islam
Bagi anak yang sudah tamyis dan berumur 10 tahun maka anak itu jangan sekali-kali diberi kesempatan untuk meninggalkan bersuci secara agama, salat, puasa dan sebagainya.dan juga al-ghazali menyarankan agar anak anak mepelajari ilmu agama seperti al-qur’an hadist, hikayah dan lain sebagainya.
c.       Aspek Pendidikan Akliyah 
Al-ghazali menjelaskan Akal adalah sebagai sumber ilmu pengetahuan tempat terbit dan sendi-sendinya. Dalam ilmu pengetahuan itu berlaku dari akl sebagaimana berlaku buah dari pohon, sinar dari matahari penglihatan dari mata. Akal dan kemauanlah yang memberkan karakteristik kepada manusia dengan akal pikiran dapat memberikan kepada manusia ilmu pengetahuan yang dipakainya sebagai pedoman dalam usaha dan aktifitas hidunya, sedang kemauan menjadi pendorong perbuatan manusia .dengan demikian antar pendorong perbuatan dan pedoman perbuatan (usaha dan aktivitas hidup) terdapat hubungan yang saling mempengaruhi interaksi yang erat sekali. Oleh karena itu pendidikan akliyah sangat erat sekali untuk mengembangkan hazanah ilmu pengetahuan, mencerdaskan pikiran, mengembangkan intelegensi manusia, secara optimal, cakap, mempergunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya dan memberikan pedoman pada segala macam perbuatan manusia.
d.      Aspek Pendidikan Sosial
Al-Ghazali memberiakan petunjuk kepada orang tua dan para guru agar anak dalam pergaulan memiliki sikap dan sifat yang mulia dan etika pergulan yang baik sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sifat-sifat itu adalah
1)      Menghormati dan patuh kepada kedua orang tua dan orang dewasa lainnya
2)      Merendahkan hati dan lemah lembut
3)      Membentuk sikap dermawan
4)      Membatasi pergaulan anak (kepada anak yang tidak sopan,sombong, dan boros.
e.       Aspek Pendidikan Jasmaniyah
Adapun pendidikan jasmaniyah bagi anak dan orang dewasa yaitu :
1)      Pendidikan kesehatan dan kebersihan 
2)      Membiasakan makan makanan yang baik dan tidak berlebihan 
3)      Bermain dan berolah raga . [15]


C.    Karya-Karya Al-Ghazali
Imam al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir besar yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Hingga ada yang mengatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan, ini memang sulit dipercaya, tapi siapapun yang mengenal dirinya dan keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kemungkinan ia akan percaya.
Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali meliputi berbagai macam bidang keilmuan, seperti al-Qur’an, akidah, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan dan lain sebagainya. Abdurrahman Badawi dalam bukunya Mualafat Al-Ghazali (Kairo, 1961), membagi kitab yang berkaitan dengan al-Ghazali kedalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan merupakan karangan al-Ghazali sendiri sebanyak 72 kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya sebanyak 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dipastikan bukan karyanya terdiri atas 31 kitab.[16]
Dari sekian banyak kitab yang menjadi karya Imam al-Ghazali, beberapa diantaranya yang banyak dibaca dan dijadikan rujukan, bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing adalah:
a.       Ihya’ ‘Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama)
b.      Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan para filosof)
c.       Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari kesesatan)
d.      Ayyuha al-Walad (Wahai anak)
e.       Bidayah al-Hidayah
f.       Fayshal al-Tafriqah bayna Al-Islam al-Zandaqah
g.      Al-Wajiz



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Dan meninggal pada tahun 505 H/18 desember 1111 M.
            Imam al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir besar yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Hingga ada yang mengatakan bahwa ia memiliki 999 buah .
            Menurut  al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, begitupun pemanfaatannya mestilah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT. Beliau membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji dan ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam.


DAFTAR PUSTAKA
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1991.
Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta : Rineka Cipta, cet II 2004.
Ibnu Rusn, Abidin. Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan Yogyakarta :Pustaka Pelajar,cet I, 1998.
Hasan Sulaiman, Fathiyah. Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali. Semarang : Dina Utama, cet I, 1993.
Jalaluddin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Ihsan, Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, CV Pustaka Setia, 1998.
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989.



[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1991) hlm. 103.
[2]Ibid,  104.
[3] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada.2003)82.
[4] Ibid, 82.
[5] Sudarsono, Filsafat Islam,(Jakarta : Rineka Cipta, cet II.2004) 64.
[6]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan( Yogyakarta :Pustaka Pelajar,cet I.1998) 56.
[7]Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali (Semarang : Dina Utama, cet I, 1993)19.
[8] Abudin Nata, Pemikiran para tokoh  pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada.2003), 86
[9]Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994) 102.
[10]Ibid, 103.

[11]Ibid, 104.
[12] Abudin Nata, Pemikiran para tokoh pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada.2003), 89-91
[13]Ibid,  91.
[14]Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali (Semarang : Dina Utama, cet I, 1993) 22.
[15] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998), 262.
[16]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989) 99.